Lokasi Pulau Tidung. Diambil dengan World Wide Telescope&Google Earth |
Ini adalah kiriman saya yang kedua untuk tahun ini di 'Isamu no Heya'. Kali ini saya ingin membahas mengenai pengalaman saya yang sangat berkesan dan tak terlupakan sewaktu berwisata ke Pulau Tidung dan sekitarnya tepat seminggu yang lalu, yaitu pada 5–6 Maret 2011 lalu.
Mungkin pengalaman ini bisa digambarkan seperti lagu tema Aladdin, "A Whole New World": Unbelievable sights. Indescribable feeling. Di sini saya mengalami sesuatu yang sepenuhnya baru. Berbagai penglihatan yang tak dapat dipercayai maupun perasaan tak sulit untuk dijelaskan.
Pendahuluan
Bagi yang masih bingung di mana sih Tidung itu, sebenarnya Tidung sendiri adalah pulau yang berada di timur laut Jakarta, dan di sebelah selatan pulau Bangka. Pulau Tidung merupakan salah satu kelurahan di Kepulauan Seribu Selatan.
Pulau ini terbagi menjadi dua yaitu Pulau Tidung Besar dan Pulau Tidung Kecil yang dihubungkan oleh jembatan panjang ini. Pulau Tidung dapat dikunjungi dengan jarak tempuh sekitar 3 jam perjalanan dari Muara Angke dengan kapal penumpang.
Latar belakang
Oke, mungkin semua bertanya-tanya dalam rangka apa saya ke Tidung. Sebenarnya wisata saya ke Tidung merupakan rekreasi angkatan (rekat) bersama rekan-rekan kerja saya di Bluejack 10-1. Namun, ternyata tak semua anggota angkatan bisa mengikutinya yaitu RY dan GN, dan malah ada satu anggota dari angkatan lain yang ikut serta dalam rekat ini yaitu SO. Jadi, ada 17 orang yang ikut. Tapi tak masalah, semuanya masih seru.
Rencana rekreasi angkatan ini sendiri sudah direncanakan dari hampir dua minggu sebelum keberangkatan. Sempat ada beberapa kandidat travel yang akan dipilih yaitu ini, ini, dan yang ini. Sempat pula dirundingkan berapa lama wisata kali ini. Ada yang menyarankan mengambil cuti sehingga tiga hari wisatanya maupun yang hanya menyarankan dua hari.
Logo Gala Explorer |
Saya pun sendiri sempat bingung apakah akan mengikuti rekreasi angkatan ini atau tidak. Salah satu pertimbangannya adalah mungkin saja tanggal 5-6 Maret ini keluarga saya akan melaksanakan Qing Ming tahunan. Setelah menunggu lama, dan yang lain sudah pada membayar 300.000 itu, saya akhirnya menyatakan ikut dalam wisata itu pada akhirnya. Qing Ming tahunan keluarga saya sendiri akan diadakan pada 20 Maret nanti.
Menuju Muara Angke
Akhirnya hari yang dijanjikan tiba pula. Sudah disepakati bersama agar mengumpul bersama jam lima pagi. Untuk itu, saya pun sudah bangun sekitar jam empat pagi. Tentu saja, di pagi buta seperti ini, belum ada yang menjual makanan. Untuk itu, di malam sebelumnya saya sudah memesan nasi ayam goreng mentega di Bakmi Kaget untuk dimakan pagi ini.
Tak lama setelah mandi, makan, serta beres-beres, sekitar jam lima, Antoni Wiguna menelpon menanyakan apakah saya sudah bangun (yang tentu saja sudah). Sepertinya belum ada yang berkumpul di sana selain dia. Setelah itu, saya pun berangkat. Di pagi yang masih gelap baru ada tiga orang lainnya jika tidak salah, dan belum ada angkot yang kami charter. Setelah menunggu tak terlalu lama, akhirnya semua anggota lengkap juga, angkotnya pun sudah tiba.
Kami berkumpul di depan kampus Anggrek dan men-charter angkot. Ada 14 orang yang berkumpul, sedangkan sisanya berangkat langsung dari rumahnya masing-masing menuju Muara Angke. Semua pun masuk ke dalam angkot, cukup berdesak-desakan, karena banyak pula barang bawaannya. Semuanya duduk di atas kursi yang tersedia, kecuali Parlinggoman yang duduk lesehan di dekat pintu belakang angkot tersebut. Sang kondektur yang memakai topi berdiri menggantung di luar.
Perjalanan pun diawali dengan singgah di kampus Syahdan. Beberapa ingin mengambil uang di ATM terlebih dahulu. Setelah itu perjalanan dilanjutkan melewati Taman Anggrek hingga Pluit. Sepanjang perjalanan kami berbincang bersama. Perbincangan sangat beragam mulai dari candaan ringan sampai sampai masalah proyek. Mungkin Mahenda yang paling sering bercanda di mana nantinya ia lah yang terkesan paling panik ketika 'sesuatu' terjadi di Tidung nanti. O ya, di perjalanan, satu lagi kejadian yang tak terlupakan juga ialah topi sang kondektur terbang bersama angin, namun dibiarkan saja.
Saat hari sudah terang, sampailah kami di Muara Angke. Di sini baunya sangat tidak sedap, begitu amis. Jalannya pun becek yang bercampur lumpur di mana-mana. Selepas melalui medan yang berat, kami semua berkumpul dengan yang lainnya bertemu dengan pihak travelnya di depan sebuah SPBU. Beberapa rekan yang tidak naik angkot bersama kami sudah tiba lebih dahulu. Beberapa di antaranya mengantre toilet. Pada awalnya saya juga ingin mengantre toilet, namun tidak jadi karena begitu banyak orang yang mengantre.
Setelah semua kembali, pihak dari travel tersebut membagikan beberapa lembar kertas berisi rangkaian kegiatan yang akan dilaksanakan di sana, rincian biaya, dan informasi lainnya. Kami juga diperkenalkan dengan pemandu lokal olehnya. Setelah selesai kami dibawa masuk ke dalam pelabuhannya.
Kapal yang kami naiki (diambil di Tidung) |
Pelabuhan yang di sini ternyata sangat berbeda dengan apa yang saya bayangkan. Tidak ada pemisah antara penumpang kapal yang satu dengan kapal yang lain. Tidak jelas loket penjualan tiket ada di mana. Bahkan tidak jelas kapal yang mana yang harus dinaiki. Kapalnya pun berbaris tak beraturan. Di sini keadaannya sungguh tidak tertib, dan malah ada warung-warung kecil yang berjualan. Di bagian ujung sebelah kiri dari gerbang masuk, ada juga toilet umum. Beberapa yang tadi belum ke toilet di SPBU mampir dahulu ke sini.
Sembari menunggu orang dari pihak travel mengurus tiket, kami sempat berfoto-foto dahulu di depan salah satu warung di sana. Setelah orang dari pihak travel kembali, kami diisyaratkan untuk menaiki kapal yang berhenti di tengah. Kami terus menunggu sampai hujan turun dan ternyata bukan kapal itu harus dinaiki. Kami semua berteduh di salah satu warung lainnya. Maklum, di sini tempatnya terbuka, tidak ada ruang tunggu khusus.
Hanya berteduh sebentar, kami disuruh menaiki kapal yang ada di ujung sebelah kanan dari gerbang masuk. Karena sedang hujan lebat, semuanya berlari ke sana. Saya pun serta-merta ikut berlari kehujanan mengikuti yang lain. Setelah sampai di ujung mengantre untuk naik ke kapal, saya baru sadar bahwa ternyata saya membawa payung! Namun, sekarang sudah terlanjur, sudah basah kuyup. Namun ternyata saya tak sendiri. Ada juga Hendry Setiadi yang baru mengeluarkan jas hujannya sekarang dan dibentangkan untuk dipakai beramai-ramai.
Saat-saat di dalam kapal
Setelah mengantre cukup lama naik kapal, akhirnya masuk juga di dalam kapal. Ini adalah pengalaman pertama saya menaiki kapal yang akan menjadi pengalaman pertama pula mengarumi lautan. Kapal yang kami naiki ini terdiri dari dua tingkat dan cukup luas, mungkin bisa memuat sekitar dua ratus orang. Kami pun terpencar dan duduk beberapa tempat yang berbeda. Ini karena kami naik agak terakhir sehingga posisi strategis sudah terambil. Saya pun duduk di koridor samping mesin kapal (yang mengeluarkan udara panas nantinya). Sisanya ada yang duduk di bagian depan kapal, ada pula yang di bagian belakang dekat toilet.
Kapal pun akhirnya terisi dan siap untuk berangkat. Bahkan bisa dibilang sudah terlalu penuh sampai-sampai tak tersisa lagi jaket keselamatan, dan rombongan kami termasuk yang tidak kebagian tersebut. Walau pun sudah penuh, kami harus menunggu beberapa saat lagi baru kapalnya berjalan. O ya, saat menunggu di dalam kapal ini suasananya cukup panas. Bahkan sepertinya baju saya yang sebelumnya terkena hujan sudah mulai mengering. Maklum di kapal ini tidak memakai penyejuk ruang, hanya ada kipas angin. Duduknya pun lesehan, tidak ada kursi bernomor.
Saat kapal mulai bergerak, angin mulai masuk. Mulai terasa sejuk, mulai terasa juga goyangan khas. Dalam perjalanan, yang tadi duduk di bagian depan kapal, Eripin, Irsyad, Hendry Setiadi, dan Samuel Sonny Salim mulai memainkan capsa. Lain dengan yang di belakang mulai entah memperbincangkan apa. Saat kapal mulai bergerak, mesin kapal di depan saya pun mulai menyemburkan udara hangatnya dan juga entah serangga kecil hitam apa pun itu yang keluar dari balik kotak kayu itu. Sepertinya kapalnya jarang dibersihkan.
Tak lama kemudian, mungkin sekitar setengah jam, hujan mulai mereda. Beberapa yang duduk di belakang mulai naik ke atas untuk melihat pemandangan laut yang lebih indah. Kebetulan di bagian belakang ini dekat dengan tangga menuju ke atas. Saya sendiri sempat mengambil beberapa gambar, Jakarta dari kejauhan. Gambar yang muat di sini sendiri berasal dari dua kali ambil, yang telah saya gabungkan menggunakan GIMP - GNU Image Manipulation Program. GIMP merupakan peranti lunak yang digunakan untuk mengganti Adobe Photoshop di UBinus. Yah, jadi sekalian belajar untuk menggunakannya.
Sisa waktu di kapal sepertinya saya habiskan dengan mendengarkan musik dari ponsel, atau pun dengan tidur. Akhirnya setelah kurang lebih tiga jam perjalanan di laut, kami semua tiba dengan selamat di pelabuhan pulau Tidung. Di sini pelabuhannya lebih kecil dari pada yang di Muara Angke, tapi entah mengapa sepertinya lebih rapi dibandingkan dengan yang di Muara Angke. Nah, dari sini lah rekreasi angkatan kami sebenarnya dimulai. Banyak kejadian tak terduga menanti di depan. Untuk tahu lebih jelas apa yang terjadi selanjutnya, pantau terus Isamu no Heya dan nantikan kiriman saya selanjutnya.
Klik di sini untuk kirimkan komentar
Silakan masukan komentar pada kotak teks yang tersedia, lalu klik tombol biru. Periksa kembali secara berkala untuk menemukan balasan terbaru. Anda mungkin tidak menerima notifikasi saat seseorang membalas komentar.