Navigasi

Menampilkan kiriman dengan kategori: Wisata. Tampilkan semua kiriman
Menampilkan kiriman dengan kategori: Wisata. Tampilkan semua kiriman

06 September 2011


Wisata ke Pulau Tidung yang Mendebarkan (4)

Akhirnya setelah kosong selama dua bulan kemarin, akibat sibuknya di masa-masa ujian dan juga koreksi, tibalah di masa-masa semester pendek yang lebih santai sehingga saya bisa kembali menuliskan entri di blog saya ini. Pada kiriman yang kali ini, akhirnya selesai lah tetralogi kisah wisata saya ke Pulau Tidung yang mendebarkan. (sedikit berlebihan kah? :D) Untuk kiriman yang sebelumnya bisa dilihat di sini:

Waktu bebas di hari kedua

Malam cepat sekali berlalu. Tidak terasa sudah tiba di hari kedua saya di Pulau Tidung ini. Walaupun beberapa sudah sungguhan bangun lebih awal dari saya dan saya sempat tahu hal itu, saya masih berada di atas kasur. Beberapa mungkin sudah bersiap untuk berangkat kembali ke bagian belakang pulau Tidung.

Pada akhirnya, karena ternyata yang lainnya sudah mau berangkat, saya pun dibangunkan. Tanpa mandi maupun tukar pakaian, saya langsung ikut mereka berangkat, walaupun sesungguhnya masih mengantuk. Seperti di hari sebelumnya, di saat yang lain menempuh perjalanannya dengan sepeda, saya diantarkan pemandu lokal ke tempat tujuan menggunakan sepeda motor.

Setelah tiba, saya bersama beberapa yang lainnya makan dahulu di warung yang ada di sana. Saya sendiri memesan mi goreng dan teh manis hangat. Ada pula yang memesan porsi dobel. Di sini, saya bersantai dahulu sejenak sambil menikmati pagi hari di dekat pantai. Beberapa yang lainnya ada pula yang meminjam dan memainkan bola di lapangan yang juga sudah tersedia di sana bersama dengan para pengunjung lainnya, maupun ada juga pula yang menaiki banana boat.

Mencoba banana boat


Setelah rombongan yang pertama kembali usai menaiki banana boat, kini saatnya giliran rombongan saya yang mencoba wahana ini. Satu banana boat ini, hanya bisa dinaiki oleh lima orang saja. Kali ini saya bersama Antoni, Ferenkey, Irsyad, dan Jeffry lah yang menaikinya. Terus terang ini adalah pengalaman pertama saya menaiki banana boat, sedikit takut pula pada awalnya.


Kami saat berada di atas banana boat.
Banana boat sudah didekatkan ke pantai pada awalnya. Kami pun diberikan jaket keselamatan terlebih dahulu. Saya juga menitipkan dahulu jam tangan dan tas jinjing saya sebelumnya, karena tidak mungkin saya membawanya bersama saya saat menaiki banana boat ini. Setelah itu, saya bersama yang lain pun mulai menaikinya. Untuk duduknya sendiri, di sini kaki kita hanya tinggal menjepit kapal karet tersebut lalu tangan menggenggam tali yang ada di depan kita. Setelah semua siap, seorang pengawas duduk di paling belakang banana boat sedangkan sang pengemudi bersiap menyalakan mesin kapal motor yang ada di depan untuk menarik banana boat kita ini.

Dimulailah perjalanan ini. Menurut saya, pada awalnya hal ini cukup menyenangkan. Melihat suasana laut di pagi hari, merasakan cipratan air laut yang terpercik dari kiri dan kanan saya. Dan ternyata, perjalanan berlanjut. Kami terus dibawa menjauhi pantai, melewati bawah jembatan, dan belum berbalik. Setelah berada cukup jauh dari pantai, mulailah kapal tersebut dibelokkan arahnya secara tajam dan juga dimiringkan, dan tentunya kami semua terjatuh dari kapal tersebut. Kata yang melihat dari kejauhan, selain kapal yang membelok tajam secara tiba-tiba, pengawas yang di belakang juga memiringkan kapal kami agar semuanya terjatuh.

Pengalaman kedua berada di laut lepas

Ini adalah pertama kalinya saya benar-benar terlepas di laut. Jika pada saat kemarin saya masih dapat berpegangan di dinding kapal, saat ini tidak bisa lagi. Banana boat sudah berlalu jauh dan sekarang sedang berbalik arah untuk menjemput kami kembali. Sebenarnya, cukup panik dan takut juga pada saat saya pertama kali terjatuh dari kapal tersebut. Walaupun sudah menggunakan jaket keselamatan, tentunya tidak bisa mengapung begitu saja. Pada awalnya tubuh saya benar-benar berada di dalam air laut yang kehijauan pada saat itu sepenuhnya, dan harus menahan napas. Setelah mencoba menggapai permukaan air, tak lama setelah itu, saya bisa mengapung kembali di permukaan. Hal ini benar-benar menghilangkan rasa kantuk saya.

Setelah itu, kami harus menghampiri kembali banana boat tersebut. Sedikit kesulitan juga untuk menghampirinya, karena saya tidak bisa menjejaki tanah untuk melangkah dan juga saya tidak bisa berenang. Dan karena ini adalah pertama kalinya, jadi saya sedikit lama untuk menghampirinya. Untungnya ada teman-teman dan juga pengawasnya yang membantu saya baik dalam menghampiri kembali kapal tersebut maupun dalam menaiki kembali kapal tersebut di tengah lautan.

Setelah berusaha, kini saya sudah berada di atas kapal lagi. Tidak sengaja saya berada di bagian paling depan kapal tersebut. Teman-teman menyarankan agar saya duduk agak ke ke belakang saja. Ya, karena saya sedikit takut dalam hal ini. Saya mengikuti saja, karena dipikir-pikir, di belakang sepertinya lebih tidak menyeramkan jika dibandingkan dengan di depan. Selain itu jika di belakang saya bisa berpegangan dengan teman saya yang di depan, dan hal ini saya lakukan.

Perjalanan pun dimulai kembali setelah semua 'penumpang' sudah berada kembali di atas kapal. Salah satu teman saya mengatakan bahwa saat ia ber-banana boat di tempat lain hanya dijatuhkan sekali. Berharap terjadi juga demikian di sini, namun ternyata katanya di sini kita akan dijatuhkan sebanyak tiga kali.... Yang kedua kali terjadi saat kapal sudah mengarah kembali ke pantai. Saya sudah tidak terlalu panik yang berlebihan di yang kedua ini. Setelah itu kapal dimiringkan sekali lagi, sepertinya akan menjadi yang ketiga kalinya. Namun ternyata tidak, kapal tidak terjatuh kali ini.

Menghabiskan waktu hingga tengah hari

Perjalanan dengan banana boat pun usai. Kapal dihentikan di posisi yang kurang lebih sama dengan tadi pada saat keberangkatan. Entah mengapa saat saya turun dari kapal dan menjejaki tanah sedikit terasa aneh. Mungkin karena baru saja terlepas di lautan dan tidak dapat menjejaki tanah, dan juga pasir di dasar tanah di sini yang ikut bergerak turun saat kita menginjakinya. Sebelum kami benar-benar keluar dari perairan, kami foto-foto dahulu sesaat di depan banana boat yang tadi.


Pohon kelapa
Setelah itu, sembari menunggu beberapa yang masih bersenang-senang, saya, Antoni Wiguna, dan Hendry Setiadi (jika tidak salah ingat) duduk di bawah pohon kelapa sembari membicarakan beberapa topik termasuk fitur obrolan antar-asisten yang pada saat saya menulis kiriman ini sudah mulai saya garap. Namun tidak disangka-sangka tak lama setelah itu sebuah buah kelapa meluncur jatuh dari atas. Untungnya kelapa itu hanya jatuh di antara kami dan tidak menimpa salah satu dari kami. Setelah itu kami menjauhi pohon kelapa itu, mencari tempat lainnya yang lebih baik.

Ternyata tak lama setelah itu, pemandu setempat menyatakan bahwa makanan bagi kami sudah siap. Saya dan beberapa yang lainnya memutuskan untuk kembali setelahnya. Beberapa yang tidak pulang masih bertahan di pantai itu, bermain air, atau bahkan menceburkan diri dari atas jembatan. Sama seperti saat perginya, saya diantar pemandunya dengan sepeda motor sedangkan yang lainnya pulang menggunakan sepeda menuju rumah tinggal.

Setibanya di rumah, saya pergi mandi terlebih dahulu. Mungkin sudah agak siang untuk mandi tapi biarlah, sekalian juga mengganti baju yang sudah basah tadi saat menaiki banana boat. Selesai mandi dan berkemas-kemas, tibalah saatnya untuk menikmati santapan terakhir dalam perjalanan ke Tidung kali ini yang ternyata sudah rapi dikemas agar siap untuk dibawa pulang - walaupun kami tetap memakannya di tempat. Setelah itu, tak lupa juga saya dan beberapa yang lainnya mencicipi 'Pop Ice' yang dijual di warung sekitar. Bisa dibilang 'Pop Ice' ini cukup murah, lengkap dengan choco chip dan keju dan hanya tiga ribu rupiah. Bila di Jakarta sudah tentu bisa lima ribu rupiah atau lebih.

Perjalanan pulang

Tidak lama setelah selesai makan, rombongan yang lainnya pun tiba. Saat itu, saya mendengar bahwa kapal yang menuju Jakarta akan diberangkatkan pada jam dua-belas siang. Sembari menunggu beberapa selesai makan dan berkemas, serta menghabiskan waktu menuju jam dua-belas, seperti biasa, kami meluangkannya dengan bermain kartu dan menonton televisi.


Foto di depan pos siskamling di seberang rumah
Tak terasa jam dua-belas pun tiba, dan seharusnya ini lah saat kami terakhir di Tidung pada perjalanan kami kali ini. Untuk itu sebelum berangkat ke pelabuhan, kami semua berfoto-foto dahulu di depan pos siskamling di seberang rumah tempat kami tinggal, dan tentu saja tidak lupa mengucapkan terima kasih pada pemilik rumah. Setelah puas berfoto-foto, kami pun berangkat menuju pelabuhan. Setelah tadi berpisah dengan pemilik rumah, kali ini kami berpisah dengan pemandu setempat sebelum akhirnya kami semua menaiki kapal yang sudah siap berangkat.

Kali ini sedikit berbeda dengan pada saat kedatangan. Cuaca yang lebih cerah: tidak hujan, penumpang yang lebih teratur, dan juga kali ini saya masih kebagian jaket keselamatan. Kami duduk di lantai bawah kapal, dan kali ini saya dapat melihat keadaan di luar. Ketika kapal mulai bergerak kemudian, saya dapat melihat bagaimana sulitnya kapal ini berputar balik untuk mengubah arah, karena sempat beberapa kali berbenturan dengan kapal lain di sekitarnya.

Terjebak di tengah laut (bagian kedua)

Kapal pun perlahan mulai meninggalkan pelabuhan Tidung dan berlayar menuju Jakarta. Kapal pun berlayar dengan lancar di hari yang cerah ini, dan kata Mahenda sekali pun ada masalah, ia sudah siap untuk menghadapinya. Saya sih berharap tidak akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Namun tentunya, kita tidak dapat memperkirakan apa yang akan terjadi ke depannya.

Setelah beberapa jam berlalu dengan perjalanan kami yang indah, di mana saya bisa melihat situasi di luar, tidak disangka-sangka kapal mendadak berhenti. Saya pikir mungkin hanya kerusakan kecil dan sebentar lagi kapal akan berjalan kembali, namun ternyata tidak. Walau pun awalnya saya tidak panik, kini saya sudah mulai panik karena ombak pun sudah cukup kencang. Kapal pun sampai miring-miring berulang kali, mungkin sekitar tiga puluh derajat. Saking miringnya sehingga saat saya melihat ke arah jendela yang terlihat semua hanyalah lautan, tidak terlihat lagi bagian langit. O ya, jendela di sini hanya lah bagian kapal yang dilubangi, tidak ada kaca atau semacamnya. Dan lebih parah lagi, sempat beberapa kali air masuk melalui jendela itu.

Penumpang yang lainnya tak kalah paniknya, beberapa sudah saling menggapai jaket keselamatan, karena yang tersedia memang tidak cukup untuk semua penumpang. Beberapa yang lainnya mulai bolak-balik; ada seorang bapak yang berusaha memasukkan semua barang-barangnya ke dalam tas; ada pula seorang ibu yang kerap kali muntah di dekat jendela; bahkan ada yang selalu memarahi nakhodanya sampai-sampai ingin melaporkannya pada polisi ketika sudah sampai, padahal pastinya sang nakhoda juga sedang berusaha dan berpikir mengenai jalan keluarnya - bila diteriaki terus menerus, mungkin ia akan semakin bingung dan akan keliru memikirkan jalannya.

Suasana pun makin tidak nyaman, saya pun semakin khawatir karena ini di tengah lautan. Namun tak ada hal lain yang bisa saya lakukan kecuali berpasrah kepada Tuhan. Saya hanya duduk dan berharap bahwa ombak segera mereda dan terbebas dari situasi yang tidak menyenangkan ini. Waktu pun terasa berjalan sangat lama saat ini.

Ketidakpastian

Setelah entah berlalu berapa lama di tengah ombak lautan yang kencang ini, akhirnya ada datang juga sebuah kapal kecil. Namun sayangnya, kapal ini hanya bisa membantu kapal kami ini untuk menepi ke pantai terdekat, dan tidak bisa mengantarkan kami kembali ke Jakarta. Walaupun demikian, setidaknya kini saya sudah tidak terlalu panik, begitu pula dengan para penumpang yang lain, karena di sini sudah tidak ada ombak yang dapat memiringkan kapal. Kini sekali lagi kami semua menunggu adanya kapal besar yang mampu mengangkut kami semua.

Setelah menunggu entah berapa lama lagi, akhirnya datang juga sebuah kapal besar yang menepi. Tentunya kami semua langsung berpindah ke kapal tersebut setelah diberi aba-aba. Kami pindah tidak keluar dahulu dari atas seperti pada saat kami menaiki kapal ini, tapi melalui jendela antara kapal yang sudah didekatkan ini.

Di kapal ini, kami memutuskan untuk duduk di lantai dua dari kapal. Dari sini, kami bisa melihat pemandangan di luar melalui pintu besar di bagian belakang. Kapal mulai berjalan, dan perlahan semakin kencang, dan sepertinya lebih kencang dari kapal yang sebelumnya. Terasa goncangan kapal saat ia menaiki ombak. Saat kapal berbelok pun, rasanya lebih miring dari pada di kapal yang sebelumnya. Mungkin karena saya duduk di lantai dua kali ini. Selain itu, berembus pula angin kencang dari arah pintu tersebut. Beberapa orang sempat ke luar dan duduk di sana beratapkan langit, sambil menikmati suasana matahari terbenam di tengah laut yang cukup menawan.

Saya sudah merasa cukup lega sudah mendapatkan kapal yang dapat mengantarkan kami semua hingga akhirnya saya mengetahui bahwa kapal ini ternyata tidak menuju ke Jakarta. Akan kah kami semua dapat kembali ke Jakarta hari ini, itu lah yang sempat menjadi pertanyaan pada saat itu. Hari itu adalah Minggu, jadi jika tidak kembali hari itu juga, tentunya kami tidak bisa bekerja pada keesokan harinya... Sama seperti sebelumnya, tidak ada hal yang bisa kami lakukan pada saat ini, selain menantikan saja apa yang akan terjadi selanjutnya.

Larut sore, kapal pun berlabuh juga, dan ternyata kami semua tiba kembali di Pulau Tidung. Ada pula yang turun dahulu untuk ke toilet. Beberapa dari kami juga bertanya-tanya haruskah kami tinggal satu malam lagi di Pulau Tidung, lalu bertemu kembali dengan pemilik rumah dan menyatakan tidak jadi kembali ke Jakarta, dan menginap di sana kembali. Sebenarnya kami hanya menyewa rumah tersebut untuk dua malam. Akan kah kami diperbolehkan menginap untuk satu hari lagi di sana. Lalu bagaimana dengan jadwal kerja untuk besok. Semuanya penuh dengan ketidakpastian.

Perjalanan pulang (lagi)

Sebenarnya kami semua juga tidak diperintahkan untuk turun, jadi kami tetap tinggal di kapal. Penumpang asli kapal ini pun turun, berganti dengan penumpang yang naik dari Tidung hingga kapal pun penuh. Setelah menunggu tanpa kabar, akhirnya kapal pun mulai berlayar, menuju Jakarta pastinya.

Tidak ada yang istimewa saat pulang kali ini. Hari pun sudah berganti malam, dan tidak ada hal yang bisa dilakukan selain menunggu. Suasana di dalam kapal ini sendiri cukup gelap, karena hanya ada dua penerangan. Jika melihat ke arah luar kapal, yang terlihat hanya lah laut. Entah mengapa, perjalanan pulang kali ini terasa sangat lama.

Dan akhirnya, setelah lelah duduk cukup lama di dalam kapal, kami semua pun tiba kembali di Jakarta, tepatnya di Muara Angke. Kami semua turun dari lantai atas kapal lalu keluar dari kapal. Karena kapal kami tidak berada paling dekat dengan pelabuhan, karena ada kapal-kapal lain sebelumnya, kami harus melompati dan melewati kapal demi kapal untuk sampai di pelabuhan. Saat menapakan kaki di tanah, saya masih merasakan goncangan seolah masih di tengah lautan. Maklum, selama kurang lebih delapan jam tadi, kami semua berada di dalam kapal yang terombang-ambing di tengah lautan.


Sebelum kembali pulang, saya dan beberapa yang lainnya mampir terlebih dahulu ke toilet. Setelah itu kami semua keluar dari area pelabuhan, dan menuju tempat di mana angkot yang sudah kami charter sebelumnya sudah menanti. Kami pun berangkat kembali menuju kampus Anggrek. Di perjalanan kali ini, beberapa menyempatkan waktu untuk bercerita bagaimana perasaannya pada saat di dalam kapal tadi. Ada pula yang mengatakan bahwa perjalanan dari Gala Explorer kali ini benar-benar membuat galau.

O ya, di perjalanan pulang ini, sang kondektur sudah mengenakan topi yang lainnya dan tetap berdiri menggantung di luar. Namun kali ini, topinya tidak lepas tertiup angin lagi. Tidak ada kejadian menarik lainnya saat di angkot. Tak lama kemudian, kami semua pun tiba kembali di kampus Anggrek dengan selamat.

Dan dengan demikian, berakhirlah segala sesuatu yang bisa saya ceritakan mengenai perjalanan saya ke Pulau Tidung bersama Bluejack 10-1 yang penuh akan Unbelievable sights dan Indescribable feeling. Terima kasih bagi yang sudah membaca cerita saya dari awal hingga akhir. Sampai jumpa di kiriman selanjutnya dalam Isamu no Heya!

07 May 2011


Wisata ke Pulau Tidung yang Mendebarkan (3)

Halo semua! Di awal bulan Mei ini saya akan melanjutkan kisah wisata saya bersama Bluejack 10-1 lainnya ke Pulau Tidung yang sudah berlalu dua bulan. Untuk kiriman yang sebelumnya, bisa dilihat di sini untuk bagian kedua dan di sini untuk bagian pertama. Ini adalah kiriman yang ketiga untuk seri 'Wisata ke Pulau Tidung yang Mendebarkan'. Tanpa basa-basi lebih lama lagi, mari kita mulai.

Perjalanan kembali ke Pulau Tidung

Restoran yang dimaksud pada kiriman yang sebelumnya.
Dari kiri ke kanan: Budi, Eripin, Yoki Winata, Samuel Sonny Salim, Parlinggoman R. Hasibuan, Yuhdy Budiarto, Mahenda Metta Surya, Sean Young Tjahyadi, Hendry Setiadi, dan William Surya Permana (saya).

Setelah puas berkeliling di pulau ini melihat-lihat keramba, kami semua kembali ke kapal yang segera berangkat tak lama kemudian menuju ke Pulau Tidung. Jika pada saat kedatangan ke sini kami memilih tempat duduk di bagian tengah kapal yang tertutup, saat ini kami memutuskan untuk duduk di bagian belakang kapal yang terbuka. Di sini kami bisa melihat lebih jelas laut yang ada di sekitar kami.

Sore itu, kapal mulai berangkat. Tidak ada sesuatu yang mencurigakan saat kami mulai meninggalkan keramba tersebut. Dalam perjalanan kami berbincang-bincang mengenai apa pun seperti biasa, hingga muncul keanehan. Awak kapal yang kebetulan berada di depan kami mulai menyendoki air yang ada di dalam semacam kotak di sana ke luar kapal. Saya dan juga yang ada sekitarnya mulai bertanya-tanya apakah kapal itu bocor. Saya dengar dari salah satu orang yang menanyakan ke awak tersebut bahwa ternyata hanya olinya yang merembes.

Terjebak di tengah laut (bagian pertama)

Mungkin sudah cukup lega bahwa bukan kapalnya yang bocor, namun tiba-tiba saja kapal tersebut berhenti melaju. Sang awak sudah mencoba menyodok berulang kali ke dalam ke kotak itu menggunakan semacam batang kayu. Mungkin untuk mengeluarkan oli yang tersisa, namun tetap saja kapalnya tidak mau melaju. Hari pun sudah mulai gelap saat ini. Semuanya sudah mulai panik. Bagaimana tidak, yang terlihat di sini hanyalah laut, tak ada yang bisa dimintai tolong.


Suasana petang menjelang malam
yang di ambil dari kapal.
Awak kapal pun sudah meminta pertolongan agar ada kapal lain yang menjemput. Waktu berlalu dan berlalu. Sore pun sudah berganti malam. Entah sudah berapa lama kami semua terdiam di satu titik itu. Walaupun saat ini ombaknya tidak terlalu besar, tetap saja menimbulkan kepanikan bagi beberapa orang. Sebenarnya, saya tidak terlalu panik di sini. Kalau kapalnya benar-benar bocor, barulah saya panik. Yang saya rasakan di sini adalah mulainya rasa lapar, dan tentu saja bosan. Semua yang terlihat hanya laut. Selain itu baterai ponsel saya juga sudah habis, sehingga tidak bisa memutar lagu atau bermain game untuk mengisi waktu luang.

Di sini terlihat yang panik adalah Mahenda. Dia bilang sendiri bahwa kalau dia tidak melakukan sesuatu, misalnya menceritakan pengalamannya atau bernyanyi, dia akan semakin panik. Salah satu yang unik adalah dia bercerita bahwa dia pernah dua kali mencium temannya yang juga laki-laki di bibirnya. Cukup mengejutkan bukan? Saya sendiri belum pernah melakukan hal seperti itu, setidaknya tidak di bibir. Beberapa teman saya sempat menanyakan dia bagaimana hal itu bisa terjadi, dan katanya karena ia ditantang.

Selain sesi sharing-nya Mahenda, satu lagi yang cukup tak terlupakan adalah sesi perekaman video bersama yang seolah-olah ini adalah video yang terakhir yang bisa dibuat. Isinya mulai dari minta maaf akan kesalahan-kesalahan pada orang tua dan juga sesama teman. Ada pula video berisi Ferenkey yang menyampaikan pesannya untuk Amel. Selain itu ada pula video dengan gaya acara berita yang menyampaikan berita bahwa sudah beberapa jam kami di sini dan belum berpindah. Beberapa isi video yang tak jelas lainnya juga dibuat hanya untuk mengisi waktu luang. Saya sendiri tidak memiliki salinan video ini. Jadi bagi yang ingin melihat, jangan memintanya pada saya.

Berbagai ekspresi 'penumpang' yang ada.
Sembari menunggu datangnya kapal bantuan, ada pula sesi bernyanyi. Entah sudah berapa lagu yang sudah dibawakan. Kalau videonya sendiri seingat saya hanya dua kali rekam. Hari pun sudah semakin larut, dan akhirnya kapal bantuan yang dimaksud datang juga. Semua orang pun berusaha pindah ke kapal yang baru saja tiba itu dengan hanya diterangi oleh sebuah lampu darurat.

Malam hari di Tidung

Seperti di kapal yang sebelumnya, kami semua duduk di bagian belakang kapal. Yang membedakan di kapal yang baru saja tiba ini adalah kemudinya ada di bagian belakang pula. Kami semua bisa melihat bagaimana sang pengemudi kapal mengendalikan kapal tersebut melalui tongkat panjang menggunakan kakinya.

Kapal pun segera berangkat tak lama kemudian. Sedangkan kapal yang sebelumnya ditinggalkan di sana bersama beberapa awak kapalnya. Pastinya nanti akan ada kapal lain yang datang lagi untuk menarik kapal yang telah mogok tersebut. Perjalanan akhirnya berlangsung dengan lancar dan kami pun akhirnya tiba kembali di Pulau Tidung.

Setelah rindu akan daratan, tiba juga di daratan. Sampai di rumah, sudah ada makanan yang menanti kami. Tentunya kami semua langsung menyantapnya bersama. Seharusnya ini adalah makan sore, namun karena ada kejadian tak terduga tadi, baru semalam ini dapat kita makan. Sebenarnya pada jadwal acara ada lagi acara barbeque malam.

Yang selalu terjadi lagi dan lagi.
Setelah selesai makan dan sembari menunggu acara barbeque nanti malam, ada yang mandi, tidur-tiduran, menonton televisi, hingga bermain capsa. Ya, kebetulan di sini masih ada televisi dan gambarnya cukup bagus. Berbeda dengan ponsel, di mana XL yang saya pakai tidak mendapat sinyal sama sekali di sini, bahkan di luar rumah sekalipun. XL saya hanya mendapat sinyal saat menuju Pulau Tidung Kecil tadi siang. Saya juga mengisi baterai ponsel saya pada kesempatan ini.

Mengenai soal mandi, kamar mandi yang disediakan di sini hanya dua. Beberapa yang ingin cepat mandi, bahkan mandi bersama berdua dalam satu ruang. Entah apakah mereka telanjang bulat di dalam atau tidak. Walaupun saya pernah mandi bersama sebelumnya, untuk kali ini saya memutuskan mandi sendiri saja. O ya, satu lagi yang unik, kamar mandi di sini sangat pendek. Saya dapat dengan mudah menyentuh langit-langit di sini. Jika orang yang lebih tinggi yang masuk, bisa jadi sudah terbentur kepalanya.

Kembali ke topik utama, bertentangan dari yang ingin cepat-cepat mandi, ada pula yang memutuskan untuk mandi nanti saja dengan anggapan bahwa jika nanti barbeque pasti berasap-asap dan badan akan kembali kotor. Namun pada akhirnya sudah pada tewas dahulu sebelum acara barbeque malam tersebut. Saya tidak termasuk yang itu. Saya bersama tiga-atau-empat teman saya (lupa berapa dan siapa) tetap berangkat menuju tempat barbeque walaupun saya juga sudah mulai lelah.

Di malam ini dengan diarahkan oleh pemandu lokal di sana, pergi ke gubuk tempat ronda yang tepat menghadap ke arah laut. Ternyata barbeque yang dimaksud di ini adalah bakar ikan dengan bumbu kecap manis dan saus sambal. Hal ini berbeda dengan bayangan saya yaitu ada ayam, sapi, udang, cumi, dan lain-lainnya dengan saus khas. :D Walaupun demikian, tentunya masih enak. Ikannya sendiri masih segar, katanya baru ditangkap sore tadi.

Kami sepertinya sudah disediakan satu ikan untuk satu orang, dan juga beberapa botol air mineral. Di sana kami hanya menghabiskan ikan-ikan yang pertama kali dibakar, ada lima jenis ikan yang berbeda-beda jika tidak salah. Saya sendiri tidak tahu ikan apa itu. Kami bergantian 'mencabik' daging ikan yang masih hangat itu, mencelupkannya ke dalam kecap manis maupun saus sambal. Sang pemandu dan beberapa warga sekitar pun juga ikut makan di sini. Sepertinya mereka sering melakukan makan bersama macam ini. Suasana kekeluargaan cukup terasa di sini, ditambah lagi dengan kehangatan dari api unggun yang melawan angin malam dari arah laut.

Hasil bakaran yang kedua pun tiba. Tak sanggup lagi memakannya, kami memutuskan untuk membawanya saja kembali ke rumah bagi yang tadi tidak ikut barbeque bersama kami. Sedangkan untuk sisa ikan yang lainnya, kami membiarkannya untuk warga di sana saja. Dari pada kami bawa dan tidak habis dimakan, jadi mubazir nantinya. Sampai di rumah, sesuai dugaan, mereka yang tadi sudah tidur, kembali bangun untuk menyantap ikan-ikan yang kami bawakan beserta sebotol kecap manis dan saus tomatnya.

Setelah semua acara selesai, saya pun sikat gigi dan bersiap untuk tidur. Satu kasur di sini dipakai untuk empat orang. Maklum lah karena kami hanya menyewa satu rumah untuk belasan orang ini. Namun di luar dugaan, saya tetap dapat tidur dengan lelap di tengah suasana yang baru dan kesempitan ini, mungkin karena sudah terlalu letih selama seharian ini. Saya cukup bersyukur bisa tertidur baik, mengingat hal-hal yang tidak kalah mendebarkan yang terjadi di hari kemudian.


Demikianlah yang bisa saya sampaikan di kiriman saya kali ini. Untuk kisah wisata saya bersama Bluejack 10-1 di hari kedua, nantikan kiriman saya berikutnya di Isamu no Heya! Sampai jumpa nanti.

03 April 2011


Wisata ke Pulau Tidung yang Mendebarkan (2)


Hai, pengunjung setia Isamu no Heya!

Ini adalah kiriman perdana saya untuk bulan ini. 3 April 2011 ini adalah hari di mana tepat satu tahun sejak saya pertama diritual sekaligus tepat 30 hari sejak wisata saya ke Pulau Tidung. Di sini, saya tidak akan membahas mengenai ritual di Bluejack (mengetahui apa yang terjadi pada Noboru Yoshikawa mungkin akan cukup membantu memahami apa itu ritual), karena sepertinya akan menuai protes (lagi), tapi saya akan melanjutkan kisah perjalanan saya ke Tidung.

Kapal yang kami naiki (diambil di Tidung)
Tiba di rumah

Setelah tak lama kami berada di pelabuhan, tiba lah kami semua di sebuah rumah yang akan menjadi tempat tinggal kami, diantarkan oleh pemandu lokal setempat. Dalam perjalanan menuju rumah tinggal kami di pulau Tidung ini, kami semua dapat melihat laut baik dari sebelah kiri maupun sebelah kanan. Maklum, pulau ini tidak memang terlalu lebar yang katanya hanya berkisar 200 meter. Jalan utamanya sendiri tak seperti jalan raya pada umumnya, di sini bisa dibilang cukup sempit, beralaskan paving block, dan hanya dilintasi sepeda dan sepeda motor - tidak ada mobil.

Kembali ke masalah rumah. Bisa dibilang rumahnya cukup sederhana. Di bagian depan ada gerbang kecil di mana di baliknya ada teras dengan tembok pendek bertegel yang bisa dipakai untuk duduk-duduk. Ada pula beberapa kursi di sebelah kiri dan ada juga pohon belimbing kecil di sebelah kanan. Di balik pohon belimbing, ada juga meja besar yang pada saat kami datang sudah terisi makanan seperti sop, ikan goreng, dan beberapa lauk sederhana lainnya, ada pula kerupuk di sana.

Ya, karena sudah disiapkan, tentunya kami melanjutkan dengan makan. Sebenarnya saya tidak menyangka juga makan siangnya akan diadakan di depan rumah seperti ini. Saya kira akan ada di rumah makan di tepi pantai atau semacamnya, karena di menu ada pula makan kelapa. Saat kami makan pun, tak lama kelapa diantar yang sepertinya dari penjual setempat. Sang pengantar pun mau apabila kita memintanya untuk membelah kelapa tersebut agar bisa diambil dagingnya. Saya sendiri hanya meminum airnya karena sudah cukup kembung untuk meminum air dari satu kelapa.

Waktu bebas di hari pertama

Setelah selesai makan dan saling bercanda, masih ada banyak waktu sebelum kegiatan snorkeling yang baru akan dimulai pada jam satu siang nanti. Kami semua sepakat untuk berkeliling di pulau ini. Sepertinya yang dijanjikan, sudah disediakan sepeda untuk masing-masing kami. Walaupun ada yang tak sesuai janji. Pihak travelnya sendiri pernah berkata bahwa akan disediakan sepeda boncengan untuk yang tidak dapat naik sepeda, yang dalam kasus ini hanya saya. Dan, ternyata kini tak ada!

Nah, masalah yang satu ini sempat memperlambat rencana berkeliling ini. Saya sendiri sempat bingung harus bagaimana, apakah harus berjalan mengikuti yang lain atau tidak. Untungnya sang pemandu lokal memiliki sepeda motor yang akhirnya ia pakai untuk memboncengkan saya. Saya paling terakhir berangkat, lalu melintasi beberapa teman-teman yang bersepeda tadi, dan tiba di ujung Pulau Tidung Besar lebih cepat dari beberapa yang lain. Dalam perjalanan, kami semua akan melewati beberapa rumah penduduk, warung, kantor polisi, maupun SMK. Saya pun sempat mengambil gambar dalam perjalanan ini. Di samping ini adalah salah satu gambarnya.

Saat tiba di pengujung Tidung Besar ini, Kami semua memarkirkan kendaraan kami di sini - di depan sebuah pantai lainnya yang indah seperti yang ada pada gambar di samping ini. Tujuan kami sekarang Pulau Tidung Kecil yang ada di seberang pulau Tidung Besar ini, dan akan dilanjutkan dengan berjalan kaki melalui jembatan panjang yang sering dinamai dengan Jembatan Cinta.

Jembatan Cinta sendiri hanya lah jembatan kayu berbelok-belok yang menjadi penghubung satu-satunya antara Pulau Tidung Besar dengan Pulau Tidung Kecil yang tak berpenghuni ini. Menurut pemandu lokal kami, dahulunya jembatan ini sendiri adalah sebuah jembatan terapung. Namun karena mudah rusak, maka diganti dengan jembatan bertiang yang tidak lagi mengapung di atas laut.

Jembatan yang ada sekarang pun sudah tidak begitu baik lagi. Di bagian depan, ada tangga besi berundak yang sudah berkarat baik lantai maupun pegangannya. Dilanjutkan dengan jembatan kayu berkelok-kelok tanpa pegangan tangan yang kayunya sudah banyak bagian berlubangnya dan ditambal-tambal. Dilanjutkan kembali dengan jembatan kayu berpegangan tangan yang lebih terawat. Dilanjutkan kembali dengan jembatan kayu tanpa pegangan tangan seperti yang sebelumnya. Di dalam perjalanan, ada pula tempat berteduh yang sudah runtuh. Dalam perjalanan ini, sempat pula diambil beberapa foto. Contohnya saja, foto profil saya saat ini.

 
Jembatan Cinta (kiri) dan Pulau Tidung Besar dilihat dari Pulau Tidung Kecil (kanan)

Setelah sampai di Pulau Tidung Kecil, apa kalian tahu apa yang dilakukan pertama-tama? Ternyata, beberapa dari teman saya itu malah bersembunyi di balik pohon untuk buang air kecil. Setelah itu dilanjutkan dengan foto-foto bersama di atas pasir pantai. Ternyata cukup sulit juga untuk berjalan di atas pasir karena pasir tersebut bisa berjalan bersama air dan semakin lama pijakan akan semakin dalam.

Pengalaman pertama berada di laut lepas

Setelah cukup foto-foto di Pulau Tidung Kecil, kami semua kembali ke penginapan kami di Pulau Tidung Besar. Kami semua menantikan untuk snorkeling yang akan dilaksanakan jam 1 siang nanti. Saya sendiri tidak mempersiapkan apa-apa untuk snorkeling nanti karena saya juga sebelumnya tidak pernah snorkeling. Saya hanya membawa tas tangan yang berisi pakaian ganti, seperti yang disarankan dalam buku panduan dari travel yang dibagikan sesuai keberangkatan.

Setelah jam satu tiba, sebenarnya lebih sih, kami semua berangkat ke pelabuhan yang sama dengan pelabuhan tempat kami tiba sebelumnya. Namun kali ini kami menaiki kapal yang lebih kecil. Bagaimana kondisi di dalam kapal tersebut bisa dilihat di gambar di samping. Masih sama seperti saat menaiki kapal menuju Tidung, kami semua dibagikan jaket keselamatan di awal. Bedanya, kini dibagikan pula perlengkapan untuk snorkelingnya yang meliputi diving mask, snorkel, dan swimfin. Dan, kali ini kami semua kebagian semua perlengkapan itu.

Untuk diving mask maupun snorkel tidak perlu lama-lama memilih, namun untuk swimfin perlu dipilih-pilih dahulu mana yang sesuai dengan ukuran kaki masing-masing. Setelah mendapat peralatan masing-masing, semua mulai mencoba untuk mengenakan peralatan tersebut. Saya sendiri sempat mengelap dahulu snorkel yang ada dengan baju. Ini karena ujung snorkel tersebut harus dimasukkan ke dalam mulut, dan mungkin tidak dibersihkan dahulu sebelumnya.

Ternyata perjalanan yang ditempuh pun cukup jauh. Sepertinya lebih dari setengah jam, walaupun saya sendiri tidak mengingat pasti seberapa lama waktunya. Sebelumnya sesuai dengan buku panduan, kami akan pergi ke Pulau Karang Beras dan sekitarnya. Namun ternyata berubah, karena dinilai tempat yang sekarang akan kami kunjungi ini merupukan titik yang lebih baik untuk snorkeling. Lokasinya sendiri di mana saya tidak tahu. Kami hanya mengikuti ke mana sang nakhoda membawa kami.

Setelah sampai pada titik yang dituju dan kapal berhenti, beberapa langsung terjun dari kapal menuju laut lepas. Karena saya sedikit takut, saya mengenakan semua peralatan snorkeling yang disediakan, lalu turun di bagian belakang kapal yang ada tangganya. Bila dari sini, akan lebih mudah untuk kembali ke kapal bila terjadi sesuatu. Saat sudah turun pun saya tidak jauh-jauh dari dan masih berpegangan pada kapal. Dan sebenarnya snorkel dan diving mask itu sedikit menyulitkan bernapas ketika hanya mengapung. Maklum, kita sudah terbiasa bernapas dengan hidung, sedangkan pada saat mengenakan snorkel dan diving mask ini kita harus bernapas melalui mulut.

Saat mau naik kembali ke kapal pun saya mengalami kesulitan. Di dalam air ini, kaki agak susah untuk ditegakkan ke bawah. Namun akan terangkat seakan akan sejajar dengan permukaan air. Saat ini lah kaki saya sepertinya terbentur dengan bagian kapal atau dengan tangga besi pada kapal tersebut yang menyebabkan kaki kiri saya terluka yang tandanya masih ada sampai kiriman ini diturunkan. Saat sudah meraih tangga, kini swimfinlah yang menyulitkan saya. Sempitnya ruang kosong antara tangga dan badan kapal membuat hanya sedikit ujung depan dari kaki saya yang bisa menapak pada tangga, sisanya swimfinlah yang menapak. Dengan bantuan tarikan teman, saya pun akhirnya bisa kembali ke atas kapal. Setelahnya saya sadari, harusnya saya melepas swimfin terlebih dahulu sebelum naik.

Mengunjungi keramba

Setelah acara snorkeling selesai, kami tak begitu saja diantar kembali ke Pulau Tidung. Masih banyak pengalaman tak terlupakan menanti. Kali ini kami diantarkan menuju suatu pulau kecil lainnya yang didalamnya hanya ada rumah makan, beberapa tempat tinggal kecil, dan keramba yang banyak. Sebelum saya turun, saya menyempatkan diri untuk menukar baju saya yang sudah basah setelah snorkeling tadi dengan baju rekar Binus (sebelumnya Parlinggoman yang memakai baju macam ini, dan sepertinya ada yang kurang suka bila membawa nama Binus, tapi tak apa) yang saya bawa di dalam tas yang saat snorkeling tadi saya letakkan di dalam kapal. Beberapa juga menitipkan dompet maupun ponselnya di sini saat itu. Kali ini tas tersebut saya bawa turun.

Sama seperti saat pertama kali tiba di Tidung Kecil, hal yang pertama kali dilakukan adalah buang air kecil. Tak heran juga sih, karena tadi habis turun di lautan. Kali tidak lagi dilakukan di balik pohon, namun di dalam toilet rumah makan. Kali ini pun lebih banyak yang ingin buang air kecil dan mengantre, termasuk saya. Masuk ke dalam toiletnya pun berdua-dua agar cepat. Kebetulan saya masuk bersama Eripin. Saya menghadap ke kloset, dan Eripin menghadap ke dinding di arah yang berlawanan.

Setelah selesai dengan masalah buang air kecilnya, beberapa sempat membeli es krim di restoran tersebut. Saya sendiri tidak membeli es krim karena masih merasakan dingin selepas snorkeling tadi. Setelah itu acara dilanjutkan dengan berjalan-jalan mengitari pulau, menuju bagian belakang dari restoran ini. Di kiri dan kanan banyak perairan tempat memelihara ikan yang sudah dibatasi bebatuan agar ikan tersebut tidak bisa pergi. Ada pula bulu babi di sini. Dan ternyata di antara yang ikut rekat di sini ada yang belum tahu apa bulu babi. Saya sendiri lupa siapa orangnya.


Kami kemudian pergi jauh ke belakang pulau. Di bagian paling ujung pulau ini, ada rumah yang disertai tulisan 'Awas Anjing Galak' yang berhadapan langsung dengan keramba-keramba ikan. Di seberang rumah itu lah kami berfoto-foto sejenak. Ada gaya yang mengikuti Antoni Wiguna, dan ada pula gaya yang mengikuti Stevanno Christian. Di atas adalah salah satu fotonya, dapat pula terlihat banyak keramba di belakangnya.

Tentu saja, setelah berfoto ria, kami melihat-lihat kerambanya. Bagi yang belum tahu apa itu keramba. Menurut kamus, keramba adalah keranjang tempat ikan berbentuk lonjong, terbuat dari anyaman bambu dengan kerangka kayu, biasanya berlapis ter supaya kedap air. Di sini pun kerambanya ada banyak, berisi mulai dari ikan-ikan yang kecil hingga yang besar. Untuk mengamati keramba-keramba ini kami harus melewati rangkaian kayu tersusun yang terapung di atas semacam drum plastik. Ada pula papan panjang, penghubung lantai yang lebih tinggi dengan yang lebih rendah, yang bila diamati dengan cermat sudah melengkung cekung di tengah.

Di sini, banyak pakan ikan yang dibiarkan terbuka begitu saja. Kami pun, termasuk saya, tak ragu lagi untuk mengambil dan menaburkannya ke sembarang keramba. Terlihat begitu cekatnya ikan-ikan di sana menerkam pakan yang baru kami ditaburkan. Pakan yang disebar pun ada yang masih kering maupun sudah basah. Tak peduli apa bedanya, kami tetap menaburkannya. Begitu menyenangkan, hingga beberapa dari kami pun ada yang terlalu semangat dan sering melakukannya. Semoga saja ikannya tidak kelebihan makan karena ini.

Setelah puas berkeliling-keliling di pulau ini, kami semua kembali ke kapal yang tadi untuk kembali ke Pulau Tidung. Kapal pun segera berangkat tak lama kemudian. Untuk tahu lebih jelas apa yang terjadi selanjutnya, pantau terus Isamu no Heya dan nantikan kiriman saya selanjutnya.

12 March 2011


Wisata ke Pulau Tidung yang Mendebarkan (1)

Peta Lokasi Pulau Tidung Kepulauan Seribu, diambil dari Worldwide Telescope dan Google Earth
Lokasi Pulau Tidung. Diambil dengan World Wide Telescope&Google Earth
Halo semuanya!


Ini adalah kiriman saya yang kedua untuk tahun ini di 'Isamu no Heya'. Kali ini saya ingin membahas mengenai pengalaman saya yang sangat berkesan dan tak terlupakan sewaktu berwisata ke Pulau Tidung dan sekitarnya tepat seminggu yang lalu, yaitu pada 5–6 Maret 2011 lalu.

Mungkin pengalaman ini bisa digambarkan seperti lagu tema Aladdin, "A Whole New World": Unbelievable sights. Indescribable feeling. Di sini saya mengalami sesuatu yang sepenuhnya baru. Berbagai penglihatan yang tak dapat dipercayai maupun perasaan tak sulit untuk dijelaskan.


Pendahuluan

Bagi yang masih bingung di mana sih Tidung itu, sebenarnya Tidung sendiri adalah pulau yang berada di timur laut Jakarta, dan di sebelah selatan pulau Bangka. Pulau Tidung merupakan salah satu kelurahan di Kepulauan Seribu Selatan.

Pulau ini terbagi menjadi dua yaitu Pulau Tidung Besar dan Pulau Tidung Kecil yang dihubungkan oleh jembatan panjang ini. Pulau Tidung dapat dikunjungi dengan jarak tempuh sekitar 3 jam perjalanan dari Muara Angke dengan kapal penumpang.

Latar belakang

Oke, mungkin semua bertanya-tanya dalam rangka apa saya ke Tidung. Sebenarnya wisata saya ke Tidung merupakan rekreasi angkatan (rekat) bersama rekan-rekan kerja saya di Bluejack 10-1. Namun, ternyata tak semua anggota angkatan bisa mengikutinya yaitu RY dan GN, dan malah ada satu anggota dari angkatan lain yang ikut serta dalam rekat ini yaitu SO. Jadi, ada 17 orang yang ikut. Tapi tak masalah, semuanya masih seru.

Rencana rekreasi angkatan ini sendiri sudah direncanakan dari hampir dua minggu sebelum keberangkatan. Sempat ada beberapa kandidat travel yang akan dipilih yaitu ini, ini, dan yang ini. Sempat pula dirundingkan berapa lama wisata kali ini. Ada yang menyarankan mengambil cuti sehingga tiga hari wisatanya maupun yang hanya menyarankan dua hari.

Logo Gala Explorer
Logo Gala Explorer
Akhirnya dipilih juga travel yang ketiga, yaitu Gala Explorer. Jumlah hari yang dipilih sendiri hanya dua hari karena sepertinya rata-rata tidak mau menggunakan jatah cuti. Padahal perbedaan harga antara dua dan tiga hari hanya beberapa puluh ribu rupiah. Paket wisata ini sendiri diambil seharga 300.000 rupiah.

Saya pun sendiri sempat bingung apakah akan mengikuti rekreasi angkatan ini atau tidak. Salah satu pertimbangannya adalah mungkin saja tanggal 5-6 Maret ini keluarga saya akan melaksanakan Qing Ming tahunan. Setelah menunggu lama, dan yang lain sudah pada membayar 300.000 itu, saya akhirnya menyatakan ikut dalam wisata itu pada akhirnya. Qing Ming tahunan keluarga saya sendiri akan diadakan pada 20 Maret nanti.

Menuju Muara Angke

Akhirnya hari yang dijanjikan tiba pula. Sudah disepakati bersama agar mengumpul bersama jam lima pagi. Untuk itu, saya pun sudah bangun sekitar jam empat pagi. Tentu saja, di pagi buta seperti ini, belum ada yang menjual makanan. Untuk itu, di malam sebelumnya saya sudah memesan nasi ayam goreng mentega di Bakmi Kaget untuk dimakan pagi ini.

Tak lama setelah mandi, makan, serta beres-beres, sekitar jam lima, Antoni Wiguna menelpon menanyakan apakah saya sudah bangun (yang tentu saja sudah). Sepertinya belum ada yang berkumpul di sana selain dia. Setelah itu, saya pun berangkat. Di pagi yang masih gelap baru ada tiga orang lainnya jika tidak salah, dan belum ada angkot yang kami charter. Setelah menunggu tak terlalu lama, akhirnya semua anggota lengkap juga, angkotnya pun sudah tiba.

Kami berkumpul di depan kampus Anggrek dan men-charter angkot. Ada 14 orang yang berkumpul, sedangkan sisanya berangkat langsung dari rumahnya masing-masing menuju Muara Angke. Semua pun masuk ke dalam angkot, cukup berdesak-desakan, karena banyak pula barang bawaannya. Semuanya duduk di atas kursi yang tersedia, kecuali Parlinggoman yang duduk lesehan di dekat pintu belakang angkot tersebut. Sang kondektur yang memakai topi berdiri menggantung di luar.

Perjalanan pun diawali dengan singgah di kampus Syahdan. Beberapa ingin mengambil uang di ATM terlebih dahulu. Setelah itu perjalanan dilanjutkan melewati Taman Anggrek hingga Pluit. Sepanjang perjalanan kami berbincang bersama. Perbincangan sangat beragam mulai dari candaan ringan sampai sampai masalah jual-beli proyek. Mungkin Mahenda yang paling sering bercanda di mana nantinya ia lah yang terkesan paling panik ketika 'sesuatu' terjadi di Tidung nanti. O ya, di perjalanan, satu lagi kejadian yang tak terlupakan juga ialah topi sang kondektur terbang bersama angin, namun dibiarkan saja.

Saat hari sudah terang, sampailah kami di Muara Angke. Di sini baunya sangat tidak sedap, begitu amis. Jalannya pun becek yang bercampur lumpur di mana-mana. Selepas melalui medan yang berat, kami semua berkumpul dengan yang lainnya bertemu dengan pihak travelnya di depan sebuah SPBU. Beberapa rekan yang tidak naik angkot bersama kami sudah tiba lebih dahulu. Beberapa di antaranya mengantre toilet. Pada awalnya saya juga ingin mengantre toilet, namun tidak jadi karena begitu banyak orang yang mengantre.

Setelah semua kembali, pihak dari travel tersebut membagikan beberapa lembar kertas berisi rangkaian kegiatan yang akan dilaksanakan di sana, rincian biaya, dan informasi lainnya. Kami juga diperkenalkan dengan pemandu lokal olehnya. Setelah selesai kami dibawa masuk ke dalam pelabuhannya.

Kapal yang kami naiki (diambil di Tidung)
Menanti kapal di pelabuhan

Pelabuhan yang di sini ternyata sangat berbeda dengan apa yang saya bayangkan. Tidak ada pemisah antara penumpang kapal yang satu dengan kapal yang lain. Tidak jelas loket penjualan tiket ada di mana. Bahkan tidak jelas kapal yang mana yang harus dinaiki. Kapalnya pun berbaris tak beraturan. Di sini keadaannya sungguh tidak tertib, dan malah ada warung-warung kecil yang berjualan. Di bagian ujung sebelah kiri dari gerbang masuk, ada juga toilet umum. Beberapa yang tadi belum ke toilet di SPBU mampir dahulu ke sini.

Sembari menunggu orang dari pihak travel mengurus tiket, kami sempat berfoto-foto dahulu di depan salah satu warung di sana. Setelah orang dari pihak travel kembali, kami diisyaratkan untuk menaiki kapal yang berhenti di tengah. Kami terus menunggu sampai hujan turun dan ternyata bukan kapal itu harus dinaiki. Kami semua berteduh di salah satu warung lainnya. Maklum, di sini tempatnya terbuka, tidak ada ruang tunggu khusus.

Hanya berteduh sebentar, kami disuruh menaiki kapal yang ada di ujung sebelah kanan dari gerbang masuk. Karena sedang hujan lebat, semuanya berlari ke sana. Saya pun serta-merta ikut berlari kehujanan mengikuti yang lain. Setelah sampai di ujung mengantre untuk naik ke kapal, saya baru sadar bahwa ternyata saya membawa payung! Namun, sekarang sudah terlanjur, sudah basah kuyup. Namun ternyata saya tak sendiri. Ada juga Hendry Setiadi yang baru mengeluarkan jas hujannya sekarang dan dibentangkan untuk dipakai beramai-ramai.

Saat-saat di dalam kapal

Setelah mengantre cukup lama naik kapal, akhirnya masuk juga di dalam kapal. Ini adalah pengalaman pertama saya menaiki kapal yang akan menjadi pengalaman pertama pula mengarumi lautan. Kapal yang kami naiki ini terdiri dari dua tingkat dan cukup luas, mungkin bisa memuat sekitar dua ratus orang. Kami pun terpencar dan duduk beberapa tempat yang berbeda. Ini karena kami naik agak terakhir sehingga posisi strategis sudah terambil. Saya pun duduk di koridor samping mesin kapal (yang mengeluarkan udara panas nantinya). Sisanya ada yang duduk di bagian depan kapal, ada pula yang di bagian belakang dekat toilet.

Kapal pun akhirnya terisi dan siap untuk berangkat. Bahkan bisa dibilang sudah terlalu penuh sampai-sampai tak tersisa lagi jaket keselamatan, dan rombongan kami termasuk yang tidak kebagian tersebut. Walau pun sudah penuh, kami harus menunggu beberapa saat lagi baru kapalnya berjalan. O ya, saat menunggu di dalam kapal ini suasananya cukup panas. Bahkan sepertinya baju saya yang sebelumnya terkena hujan sudah mulai mengering. Maklum di kapal ini tidak memakai penyejuk ruang, hanya ada kipas angin. Duduknya pun lesehan, tidak ada kursi bernomor.

Saat kapal mulai bergerak, angin mulai masuk. Mulai terasa sejuk, mulai terasa juga goyangan khas. Dalam perjalanan, yang tadi duduk di bagian depan kapal, Eripin, Irsyad, Hendry Setiadi, dan Samuel Sonny Salim mulai memainkan capsa. Lain dengan yang di belakang mulai entah memperbincangkan apa. Saat kapal mulai bergerak, mesin kapal di depan saya pun mulai menyemburkan udara hangatnya dan juga entah serangga kecil hitam apa pun itu yang keluar dari balik kotak kayu itu. Sepertinya kapalnya jarang dibersihkan.

Tak lama kemudian, mungkin sekitar setengah jam, hujan mulai mereda. Beberapa yang duduk di belakang mulai naik ke atas untuk melihat pemandangan laut yang lebih indah. Kebetulan di bagian belakang ini dekat dengan tangga menuju ke atas. Saya sendiri sempat mengambil beberapa gambar, Jakarta dari kejauhan. Gambar yang muat di sini sendiri berasal dari dua kali ambil, yang telah saya gabungkan menggunakan GIMP - GNU Image Manipulation Program. GIMP merupakan peranti lunak yang digunakan untuk mengganti Adobe Photoshop di UBinus. Yah, jadi sekalian belajar untuk menggunakannya.

Pemandangan Jakarta dari kejauhan dari dalam kapal menuju Tidung

Sisa waktu di kapal sepertinya saya habiskan dengan mendengarkan musik dari ponsel, atau pun dengan tidur. Akhirnya setelah kurang lebih tiga jam perjalanan di laut, kami semua tiba dengan selamat di pelabuhan pulau Tidung. Di sini pelabuhannya lebih kecil dari pada yang di Muara Angke, tapi entah mengapa sepertinya lebih rapi dibandingkan dengan yang di Muara Angke. Nah, dari sini lah rekreasi angkatan kami sebenarnya dimulai. Banyak kejadian tak terduga menanti di depan. Untuk tahu lebih jelas apa yang terjadi selanjutnya, pantau terus Isamu no Heya dan nantikan kiriman saya selanjutnya.